- Admin Desa Bonto Jai
- 02 Jun 2025
Pertanian Maju Modern Ada Di Tangan Kaum Muda Milenial
Bonto Jai - Di tengah derasnya arus modernisasi, perubahan gaya hidup, dan dominasi teknologi digital, dunia pertanian kita menghadapi tantangan serius: kehilangan regenerasi petani. Khususnya di daerah pedesaan yang sebenarnya subur dan kaya potensi seperti Desa Bonto Jai, Kecamatan Bissappu, Kabupaten Bantaeng, kita menyaksikan perubahan yang mencemaskan, generasi muda perlahan menjauh dari sawah, ladang, dan seluruh proses pertanian yang dulunya menjadi nadi kehidupan masyarakat.
Namun jika kita tengok sejarah dan akar budaya kita sendiri, pertanian bukan sekadar aktivitas ekonomi. Pertanian adalah identitas, warisan, bahkan ibadah. Dan kini, tugas besar menanti: menghidupkan kembali semangat itu melalui tangan-tangan muda milenial.
Sejarah Panjang Pertanian: Akar dari Peradaban
Pertanian bukanlah hal baru bagi manusia. Sejak 10.000 tahun lalu, ketika manusia mulai beralih dari pola hidup berburu dan meramu menjadi menetap dan bercocok tanam, peradaban mulai tumbuh. Di Nusantara, khususnya di Sulawesi Selatan, pertanian padi telah menjadi denyut nadi masyarakat selama ratusan tahun. Bahkan dalam kosmologi Bugis-Makassar, padi bukan hanya tanaman pangan, tapi simbol kehidupan itu sendiri.
Petani dihormati karena merekalah penopang kehidupan masyarakat. Lahan-lahan subur di Bantaeng, dengan iklim yang cocok dan air yang melimpah, sejak dahulu sudah menjadi bagian penting dari lumbung pangan lokal.
Kaum Perempuan: Penjaga Nilai, Pemelihara Ladang
Perlu dicatat bahwa dalam sejarah dan praktik pertanian di Sulawesi Selatan, kaum perempuan memainkan peran yang sangat besar dan fundamental. Mereka tidak hanya membantu di ladang, tetapi juga memegang peran penting dalam proses penanaman padi, ritual-ritual adat, hingga pengelolaan hasil panen.
Perempuan Bugis-Makassar dikenal kuat dan tekun. Mereka menyemai benih, menanam padi, memanen, dan mengolah hasil tani. Bahkan dalam banyak budaya lokal, perempuan dipercaya sebagai penjaga benih dan simbol kesuburan.
Sayangnya, dalam dinamika modern saat ini, keterlibatan mereka mulai terpinggirkan. Di sinilah pentingnya kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan untuk kembali terlibat, melanjutkan peran leluhur mereka, dengan semangat dan pendekatan baru.
Budaya Lokal Pertanian: Dari Angngamme Bine hingga Panen
Di Bonto Jai dan daerah lain di Bantaeng, proses pertanian padi bukan sekadar kegiatan teknis. Ini adalah proses yang sarat makna budaya dan spiritual, yang berlangsung dari awal hingga akhir musim tanam. Berikut adalah tahapan-tahapan yang biasa dilakukan masyarakat:
Angngamme Bine (Menyemai Benih Padi):
Proses ini adalah awal dari segalanya. Petani memilih benih terbaik, kemudian menyemainya dengan penuh harap dan doa. Ada keyakinan bahwa benih yang diperlakukan dengan baik akan membawa berkah.
Attauru Bine (Menabur Benih):
Setelah disemai, benih yang telah tumbuh ditaburkan ke lahan persemaian. Tahap ini sering dilakukan dengan gotong-royong, dan penuh dengan pantangan-pantangan adat.
Ammukbu Bine (Mencabut Benih):
Ketika benih sudah cukup umur, para petani biasanya perempuan akan mencabutnya satu per satu dengan hati-hati. Ini adalah pekerjaan yang penuh kesabaran.
Attanang Bine (Menanam Benih):
Ini adalah tahap penting yang melibatkan seluruh keluarga dan masyarakat. Ada filosofi bahwa menanam padi bukan hanya soal teknik, tapi soal niat dan keberkahan. Proses ini biasanya disertai doa dan ritual tertentu.
Pemeliharaan dan Panen:
Setelah ditanam, padi dirawat dengan penuh perhatian — disiangi, diairi, dijaga dari hama. Dan pada saat panen, dilakukan dengan rasa syukur. Tak jarang panen juga diiringi syukuran atau selamatan.
Proses ini bukan sekadar kegiatan pertanian, tapi juga bentuk warisan budaya yang memperkuat identitas komunitas. Inilah warisan yang harus dijaga dan diteruskan, bukan ditinggalkan.
Mengapa Kaum Muda Harus Terlibat?
Kenyataannya, saat ini banyak generasi muda yang lebih tertarik menjadi selebgram ketimbang petani. Mereka lebih tertarik menjadi penjual online daripada pengelola ladang. Tapi tahukah Anda? Dunia pertanian saat ini justru sangat membutuhkan kreativitas dan teknologi yang dikuasai generasi muda.
Pertanian modern membutuhkan:
- Anak muda yang bisa membuat konten edukatif tentang bertani di TikTok dan Instagram.
- Anak muda yang bisa membuat sistem irigasi otomatis menggunakan Arduino.
- Anak muda yang bisa memasarkan beras organik Bonto Jai melalui marketplace digital.
- Anak muda yang bisa membangun brand lokal pertanian desa mereka sendiri.
Dengan keterampilan itu, pertanian bisa menjadi ladang “cuan” yang bukan hanya cukup makan, tapi bisa sejahtera, membangun rumah, menyekolahkan anak, bahkan membuka lapangan kerja.
Tokoh-Tokoh Muda Milenial Sukses di Bidang Pertanian
Beberapa anak muda Indonesia telah membuktikan bahwa bertani bisa menjadi jalan sukses:
Ali Maskur Musa – Jawa Timur: Petani milenial yang mengembangkan pertanian organik dengan sistem digital di Malang. Ia mendirikan komunitas petani muda dan menjadi trainer nasional dalam pertanian modern.
Fachry Arfan – Aceh: Lulusan IPB yang memilih kembali ke desa untuk mengembangkan sistem pertanian terpadu. Kini menjadi pengusaha muda yang mengelola lahan produktif dan memberi pelatihan bagi pemuda desa.
Kartika Sari – Sulawesi Selatan: Perempuan petani milenial yang sukses mengembangkan pertanian hortikultura organik di Gowa. Ia memanfaatkan Instagram untuk menjual hasil tani langsung ke konsumen kota.
Muhammad Al Fatih Timur (CEO Kitabisa.com): Meski bukan petani, ia menggagas Petani.org, platform crowdfunding untuk membantu petani kecil. Ia menunjukkan bahwa teknologi digital bisa menjadi katalis pemberdayaan sektor agraris.
Tokoh-tokoh ini membuktikan bahwa anak muda tidak hanya bisa bertani, tapi juga memimpin transformasi sektor pertanian ke arah yang lebih inovatif dan mandiri.
Dari Geng Motor ke Geng Petani Digital
Daripada terlibat dalam geng busur atau komunitas kriminal, lebih baik anak muda diarahkan untuk membentuk geng pertanian digital. Komunitas yang solid, yang saling bantu menggarap lahan, berbagi alat, belajar teknologi pertanian, dan menjual produk pertanian bersama.
Di tangan kaum muda, pertanian bisa menjadi inspirasi, inovasi, dan investasi.
Mari belajar dari negara-negara yang telah berhasil melibatkan anak muda dalam pertanian modern:
Jepang: Pemerintah mendukung penuh petani muda dengan subsidi, teknologi tinggi, dan promosi besar-besaran. Kini, banyak petani muda Jepang yang menjadi panutan karena sukses dan modern.
Belanda: Petani muda di sana menggunakan rumah kaca otomatis dan teknologi presisi untuk memproduksi sayur dalam jumlah besar dengan efisiensi tinggi. Hasilnya? Belanda menjadi eksportir produk pertanian nomor dua dunia!
Thailand dan Vietnam: Negara tetangga ini serius membina petani muda melalui pendidikan vokasi pertanian dan digitalisasi proses produksi.
Jika mereka bisa, mengapa kita tidak?
Pertanian kini tidak lagi terpaku pada metode konvensional, melainkan bergerak menuju Agrosains dan Smart Farming.
Konsep Agritech (Agricultural Technology) mencakup berbagai inovasi, seperti:
Precision Farming: Penggunaan sensor, GPS, dan drone untuk meningkatkan efisiensi pertanian.
IoT-based Irrigation: Sistem irigasi otomatis berbasis Internet of Things.
Vertical Farming dan Hidroponik: Alternatif pertanian urban dan efisiensi ruang.
Digital Marketplaces: Platform online untuk distribusi hasil pertanian secara langsung ke konsumen.
Inilah ruang baru bagi generasi muda. Dengan kemampuan digital yang dimiliki, mereka bisa menjadi aktor utama dalam inovasi pertanian masa depan, menjadikan sawah sebagai startup, dan ladang sebagai laboratorium ekonomi kreatif berbasis desa.
Langkah Nyata di Bonto Jai
Di desa seperti Bonto Jai, perubahan bisa dimulai dari hal sederhana namun konsisten:
Sekolah Lapang Pertanian Milenial: Bentuk pelatihan bagi anak muda tentang pertanian organik, hidroponik, digitalisasi tani, dan manajemen usaha tani.
Festival Panen Muda: Acara tahunan untuk merayakan hasil tani, menampilkan produk anak muda, dan mengadakan lomba vlog bertani atau desain kemasan beras lokal.
Koperasi Pemuda Tani: Wadah untuk akses permodalan, alat bersama, dan pemasaran kolektif.
Branding Produk Desa: Ciptakan merek khusus seperti “Beras Bonto Jai – Organik & Tradisional”, lalu jual secara online dengan dukungan desa.
Sawah Bukan Masa Lalu, Tapi Masa Depan
Sawah bukan cerita masa lalu. Sawah adalah masa depan. Tapi masa depan itu hanya akan ada jika kaum muda mengambil peran sekarang. Di tengah ancaman krisis pangan, perubahan iklim, dan urbanisasi, pertanian adalah benteng terakhir ketahanan kita — dan benteng itu membutuhkan penjaga yang muda, cerdas, dan penuh semangat.
Petani muda bukan impian, tapi kebutuhan.
Mari kita ajak anak muda Bonto Jai untuk kembali ke sawah, bukan sebagai pekerja kasar, tapi sebagai pemimpin pertanian masa depan. Dengan sentuhan teknologi, semangat kebersamaan, dan warisan budaya lokal yang kaya, kita bisa menjadikan Bonto Jai sebagai desa panutan pertanian modern berbasis budaya.
Penulis: Guntur Judda